Jumat, 23 Desember 2022

Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Sudah Berubah

Sekitar 5 menit sebelum sampai di TMII, tiba-tiba aku baru teringat akan tiket masuk. Seingatku, tahun lalu mobil bebas masuk kemanapun dan hanya membayar uang sebesar Rp10,000. Tetapi perasaanku tidak enak, kemudian segera aku cek di internet. Nah ternyata benar, sekarang sistem tiket masuk TMII dibuat seperti di Ancol! Untuk masuk ke TMII harus memindai QR-code yang didapatkan setelah membeli tiket secara daring di https://ticket.borobudurpark.com/. Jangan sampai salah memilih tempat ya, karena tiket untuk mengunjungi Candi Borobudur dan beberapa tempat wisata lain juga bisa dibeli di laman yang sama. Seperti halnya masuk ke Ancol, tiket yang dibeli ialah tiket pintu masuk sesuai jumlah orang dan kendaraan. Berkat gerak cepat tanganku kami pun berhasil memiliki tiket, tepat ketika akan masuk ke TMII. Sewaktu kami masuk pun, ada posko khusus yang dibuat manajemen TMII untuk mengarahkan pengunjung supaya bisa membeli tiket secara daring. Daripada mengantre seperti itu, lebih baik membeli tiket secara daring.

Ternyata memang selama 2022 kemarin TMII melakukan revitalisasi. Perbedaan yang kulihat paling mencolok ialah miniatur Tugu Monas yang dahulu memang terlihat usang dan tua, kini dihiaskan semacam lapisan berwarna tembaga. Selain itu sepertinya manajemen TMII ingin menerapkan go-green dengan melarang semua jenis kendaraan untuk masuk ke dalam area lebih dalam. Jadi kendaraan hanya bisa diparkir di halaman bagian depan. Niatnya bagus, tetapi belum terfasilitasi secara baik. TMII menyediakan shuttle khusus untuk mengunjungi berbagai tempat di area dalam tetapi antreannya luar biasa panjang. Pengunjung yang begitu banyak di musim liburan sekolah tidak diimbangi dengan jumlah kendaraan yang cukup. Kamipun sebenarnya ingin memarkir mobil di area Keong Mas supaya bisa jalan kaki lebih dekat ke Taman Legenda, tetapi tempat parkir di situ sudah penuh. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki daripada menunggu di halte yang antreannya sudah mengular. Disitulah kami juga melihat perbedaan yang drastis, dimana trotoar tempat pejalan kaki sudah dibuat dengan istimewa. Walaupun panas terik, kami bisa berjalan kaki dengan nyaman dan sesekali kami menyebrang untuk memilih berjalan di bawah teduhnya pepohonan.

Setelah melihat kilas balik foto, ternyata tahun lalu ke TMII juga bulan Desember. Baiklah akan kujadikan kunjungan ke TMII pada bulan liburan Desember menjadi tradisi. Hahaha. Aku ingat sekali tahun lalu hujan lumayan deras ketika kami akan pulang dari Taman Legenda. Tinggi badan anakku ketika itu belum sampai 90cm, sehingga kami tidak bisa menikmati beberapa wahana. Kali ini anakku bersama temannya ketika cuaca sungguh panas dan terik, tapi mereka sungguh kuat sekali mencoba semua wahana! Pembayaran tiket sebesar Rp80,000 per orang pun terpakai secara maksimal. Walaupun memang ada beberapa wahana seperti menaiki kuda dan andong yang harus dibayar secara ekstra, tetapi tidak masalah. Wahana seperti taman air untuk anak-anak juga kami lewatkan karena kami memang tidak membawa pakaian renang. Berdasarkan pengalaman, energi anak akan terkuras penuh ketika bermain air dan nantinya tidak bisa menikmati wahana lain. 

Oh iya, segala macam transaksi yang dilakukan di dalam Taman Legenda memakai sistem isi ulang pada gelang elektronik yang dananya bisa dikembalikan ketika akan meninggalkan tempat ini. Sebaiknya siapkan uang tunai yang banyak ketika berkunjung kesini, karena berbagai macam kartu yang diterima sebagai pembayaran hanyalah bank negeri seperti Mandiri, BNI, dan BRI. Penggunaan kartu lain akan dikenai biaya beberapa persen. Untungnya ketika di pintu masuk tas kami tidak diperiksa karena kami membawa makanan dan minuman khusus anak-anak yang biasanya diminta petugas untuk ditinggal di meja depan. Hal biasa di tempat wisata seperti ini, supaya pengunjung membeli makanan dari kantin mereka. Selain itu sama halnya seperti di Kebun Binatang Ragunan, di Taman Legenda ada fotografer yang bersiap dan secara mendadak mengambil gambar pengunjung di tempat awal kedatangan. Di tempat akhir dekat kasir pengembalian uang elektronik, mereka menawarkan foto yang sudah jadi kepada kami, dan karena sudah tercetak kami pun membelinya. Yah, kami pun sudah tahu dan memang sudah merencanakan untuk membeli saja. Anggaplah sebagai kenangan.

Setelah dari Taman Legenda, kami penasaran ingin mencoba kereta gantung selagi di TMII. Biaya naik kereta gantung adalah sebesar Rp50,000. Jangan tertipu oleh sepinya orang di lantai dasar, karena orang mengantre di lantai atas. Tetapi bisa dibilang kami mengantre tidak terlalu lama, karena pergantian penumpang berlangsung cepat. Pemandangan yang paling menarik dari atas ialah miniatur negara kepulauan Indonesia berupa pulau-pulau kecil berumput hijau muda. Dari jauh kami juga melihat tempat baru bernama Skyworld, lain kali mungkin kami akan berkunjung kesana.

Saranku hanyalah siapkan tenaga dan minum air yang banyak. Pakai topi terutama anak-anak. Bawa uang tunai banyak lebih baik daripada mengandalkan pembayaran menggunakan kartu. Secara umum pengalaman kami kemarin sungguh melelahkan, tetapi juga sangat menyenangkan. Alternatif kegiatan liburan yang hemat, tidak perlu ke luar negri yang lebih melelahkan lagi. Salut untuk anak-anak kami yang sepanjang jalan sangat menikmati segala yang ada, tidak rewel ataupun menangis. Jangan lupa tetap laksanakan protokol kesehatan ya!

Senin, 18 Januari 2021

Pertemuan Pertama REA Masterclass

REGGIO EMILIA APPROACH (REA)

Hari Sabtu tanggal 16 Januari 2021 kemarin adalah pertemuan pertama kami di REA Masterclass yg difasilitasi oleh Early Childhood Educator Ms. Krista Endinda dan dipimpin oleh Pedagogical Consultant Ms. Ambra Lanzi. Lebih dari 150 peserta mengikuti kelas ini dan 80% persen darinya adalah orang tua, sisanya guru/tenaga pendidik. Aku merasa bangga melihat para peserta yang sangat antusias mengikuti kelas ini, karena ini artinya pelan-pelan masyarakat Indonesia mulai meletakkan perhatian yang lebih terhadap metode pengasuhan anak.

Reggio Emilia sendiri adalah nama kota kecil di negara Itali bagian utara. Singkat cerita, penduduk di kota itu ingin bangkit kembali setelah penderitaan Perang Dunia ke II. Salah satu caranya adalah dengan membangun sekolah untuk anak-anak yang pada saat itu juga mendapat dukungan besar dari para orang tua dan komunitas sekitar. Dari situ muncul Loris Malaguzzi, seorang tokoh penting di dalam dunia REA. Ia membangun sekolah untuk pendidikan anak usia dini, berkolaborasi dengan para pengajar di RE, dan mengembangkan teori REA yang menjadikan anak sebagai tokoh utama dalam proses pembelajaran serta menganut metode konstruktivis. REA bukan hanya filosofi pendidikan, tetapi juga filosofi kehidupan.. Sebagai orang tua, aku juga harus memberi contoh yang baik dan sungguh-sungguh mempraktekkan REA dalam kehidupan sehari-hari

IMAGE OF CHILD

REA percaya bahwa anak memiliki citra yang kuat, memiliki banyak potensi, kompeten, dan yang paling utama adalah mereka terhubung dengan orang dewasa maupun anak-anak lainnya. Mereka memiliki kesetaraan dan hak yang sama seperti layaknya orang dewasa. Proses pembelajaran lebih diutamakan dan dihargai daripada hanya hasil akhirnya. Selain itu, proses pembelajaran mereka terjadi dari kolaborasi yang baik antara orang tua, guru, lingkungan dan temannya di sekolah. Inilah yang membuatku ingin mengetahui REA secara lebih dalam lagi, karena selama ini aku merasa banyak sekali orang tua di Indonesia yang hanya mengandalkan guru dan tidak terlibat langsung di kehidupan pendidikan anak mereka. 

Orang tua seringkali memiliki ekspektasi yang sangat tinggi terhadap anak. Anak diharapkan belajar baca tulis dan hitung sebelum waktunya. Seolah semuanya bagaikan kompetisi dengan anak orang lain yang berujung memberi tekanan buruk terhadap anak. REA percaya bahwa yang paling penting dalam mendidik anak adalah bagaimana memberikan stimulasi yang baik sehingga anak bisa belajar dengan senang hati, tanpa beban, dan sesuai dengan kemampuan mereka. Ketika anak memberi pertanyaan,"Mama, kenapa langit warnanya biru?", berikanlah mereka stimulasi dengan memberikan pertanyaan lanjutan,"menurut kamu kenapa?". Apa kamu tahu, jawaban ilmiah yang rumit dari orang tua bisa membuat anak mundur dari rasa ingin tahunya! Jika anak bingung harus menjawab apa, katakanlah,"nanti kita cari tahu bersama-sama ya". Inilah peran orang dewasa dalam REA: menghormati opini dan sudut pandang anak, sebagai pengamat, sebagai teman kerja anak, serta pendengar yang baik!

EMBRACE YOUR CHILD

Di penghujung mendekati akhirnya kelas, ada kata-kata Ms. Ambra yang paling aku ingat dan paling berkesan: jangan pernah membandingkan anak kita dengan anak lain. Masing-masing anak memiliki potensi yang berbeda dan istimewa. My child is beautiful as he is! Anak bukan kertas kosong, mereka juga bukan kotak, yang bisa kita isi dengan apapun yang kita mau. Dalam diri anak sudah ada berbagai macam potensi, tugas orang dewasa adalah mengarahkan dan mengeluarkan potensi itu.

Bagaimana menurutmu? Apakah sejalan dengan apa yang kamu pikirkan selama ini? Untukku metode ini sungguh menarik dan bermanfaat untuk dipraktekkan. Semoga ringkasan ini bisa bermanfaat dan mungkin bisa membuatmu lebih ingin mendalami REA. Tak sabar untuk pertemuan kedua besok Sabtu. Sampai bertemu di tulisan selanjutnya ya...

Sabtu, 02 Januari 2021

Kilas Balik ke 2020 dan Harapan untuk 2021

Tahun lalu sepertinya menjadi tamparan keras bagi banyak orang di seluruh dunia ya? Siapa lagi kalau bukan karena Corona. Untuk yang di Jakarta dan sekitarnya, bulan Januari diawali dengan banjir besar. Sungguh melelahkan ketika rumah di terjang banjir sebanyak empat kali. Sudah dibersihkan, kemudian banjir lagi. Lumpur dimana-mana, banyak barang terendam air. Hatiku kesal sekali ketika melihatnya. Tetapi aku masih beruntung karena sejak punya anak, kami sekeluarga sudah pindah ke tempat tinggal lain. Hanya barang-barang di rumah lama saja yang hancur.

Kemudian muncul berita merebaknya virus di kota Wuhan. Sejak bulan Januari, aku sudah mulai waspada. Pernikahan teman baikku pada bulan Februari pun aku terpaksa tidak hadiri, karena aku ada bayi yang harus kujaga betul betul kesehatannya. Terekam dengan sangat baik di ingatanku, pemerintah mengklaim di media bahwa tidak ada orang yang terinfeksi virus di Indonesia. Skeptis aku dibuatnya. Sangat, sangat skeptis. Tidak mungkin, pikirku. Tidak mungkin bahwa tidak ada orang yang terinfeksi virus Corona di Indonesia ini, selagi penerbangan internasional masih berjalan dan dibuka bebas. Itulah alasanku kenapa aku juga sudah mengurung diriku dan si bayi di rumah sejak bulan Februari, dimana pemerintah akhirnya mengumumkan pasien Corona pertama pada bulan Maret. 

Setelahnya kita semua tahu apa yang terjadi. Pembatasan pergerakan masyarakat pun diberlakukan, dan semua yang bisa tinggal di rumah, harus tetap di rumah. Banyak orang yang tadinya berangkat kerja setiap hari, kini harus bekerja dari rumah. Anak-anak hanya bisa menatap gurunya lewat komputer. Sakit hatiku juga pada masa awal virus Corona terjadi, bahkan sampai sekarang pun masih banyak yang meremehkan. Ada pula yang tersinggung ketika aku mengatakan kepada mereka untuk jangan bertemu dulu. Ada pula yang tidak mengindahkan kata-kataku ketika aku menyarankan mereka untuk tidak bepergian keluar kota terlebih dahulu. Ya sudah, aku tidak ingin menyimpan perasaan negatif apapun, yang terjadi sudah terjadi.

Sekali lagi aku sangat beruntung. Sungguh masih termasuk yang sangat beruntung. Aku dan suami mengelola usaha sendiri. Karena pandemi, bayi kuajak ke kantor hanya tiga kali dalam satu minggu. Sisanya suami berangkat sendiri kesana. Kami beruntung karena kami tidak bekerja di sebuah perusahaan lain dan otomatis kami tidak perlu mengikuti aturan orang lain. Kami bisa sesuaikan waktu, karena memang agak rumit sekarang situasinya ketika ada bayi tanpa asisten ataupun "nanny". Di saat pandemi pun kami sangat bersyukur karena ada proyek kerja. Toko online pun masih berjalan. Lelah, stress, tentu saja pasti ada kalau bekerja keras. Tapi berkat yang kami terima, sungguh jauh melebihi rasa lelah kami. Sampai detik ini pun kami juga masih diberi kesehatan, sungguh anugerah yang luar biasa.

Pengalaman paling berharga untukku di 2020 mungkin adalah menjadi orang tua. Melihat perkembangan bayiku yang begitu luar biasa, diberi anak yang pintar dan sehat dan aku belajar menjadi orang tua. Tentu saja ada momen dimana aku terjatuh, menangis, tertekan, tapi kemudian aku bisa bangkit lagi. Kadang terasa sangat sulit untukku beradaptasi dengan kehidupan baru sebagai ibu, tapi perlahan aku bisa menikmatinya. Aku bahkan berhasil membuatkan anakku mainan kayu dengan desainku sendiri. Aku ikut diskusi buku "parenting" dengan ibu-ibu lain. Dan yang paling penting, aku bisa menikmati waktu dengan anakku.    

Halo 2021, aku tahu kehidupan manusia tak akan pernah mudah. Untuk mengharapkan kebahagiaan, kesehatan, dan kesejahteraan, pasti dibutuhkan juga kerja keras yang tiada habisnya. Aku tahu pasti akan banyak waktu dimana aku merasa lelah, hampir menyerah, dan tertekan. Tapi aku tidak akan kalah dengan itu semua. Semoga: kami sekeluarga dan kita semua tentunya, diberi kesehatan, diberi rejeki yang melimpah, diberi kebahagian serta menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Ulasan Singkat Buku The Danish Way of Parenting

Buku terjemahan dari bahasa Inggris yang terdiri dari 180 halaman ini ditulis oleh seorang terapis keluarga Iben Dissing Sandahl, dan Jessica Joelle Alexander, seorang ibu berkewarganegaraan Amerika Serikat yang menikah dengan seorang berkebangsaan Denmark. Mereka berdua percaya, cara orang Denmark mengasuh anaklah yang menjadi faktor utama dari keberhasilan Denmark mendapatkan label sebagai negara yang memiliki penduduk paling bahagia di dunia. Menurut mereka gaya mengasuh anak orang Denmark menghasilkan anak yang tangguh dan stabil secara emosional. 

Selain membahas "default settings" atau pembawaan alami dari orang tua, mereka juga membahas aspek lain yang terdiri dari Play (bermain), Authenticity (originalitas), Reframing (memaknai ulang), Empathy (empati), No Ultimatums (tanpa ultimatum), dan Togetherness (kebersamaan). Jika disingkat menjadi PARENT. Sudut pandang yang sudah disebutkan itulah yang menjadi dasar buku ini. Bab 1 membahas "P", bab 2 membahas "A", dan begitu seterusnya. Tapi disini aku harus jujur, membahas setiap bab dengan mengangkat judul dari inisial singkatan PARENT agak sedikit memaksa. 

Aku menulis ulasan ini setelah diskusi buku kami selesai, karena aku ingin tahu terlebih dahulu secara keseluruhan seperti apa isi buku ini. Ini menurutku: ringan untuk para orang tua baru, sangat menarik dan informatif, dan membuatku sadar akan banyak sekali hal yang sebelumnya sama sekali tidak terpikirkan olehku. Tetapi jujur saja, aku merasa hal-hal positif yang ada di dalam buku ini tidak sepenuhnya terikat dengan Denmark itu sendiri. Dalam buku ini, secara tidak langsung Sandahl dan Alexander mengatakan bahwa pembawaan alami orang tua Amerika Serikat bukan selalu menjadi pilihan terbaik dalam mengasuh anak. Ya betul dua negara berbeda ini tentu saja memiliki budaya yang berbeda.

Tetapi para orang tua di Indonesia, Amerika, maupun negara lain pasti sudah ada yang mempraktekkan metode pembawaan alami orang Denmark tersebut tanpa adanya label "cara orang Indonesia" atau "cara orang Amerika". Semua orang tua pasti bertujuan untuk mencari yang terbaik bagi anaknya. Selama itu baik dan bermanfaat, tidak ada yang salah dengan cara orang mendidik anak di negara lain. Poin yang ingin aku sampaikan adalah, aku rasa judulnya akan lebih cocok jika "Danish" dihilangkan. Metode mengasuh anak yang ada di dalam buku ini sudah sangat umum sekali dipraktekkan di berbagai negara. Sekali lagi jangan salah, konten buku ini luar biasa, sangat layak dan patut dipraktekkan di dalam keluarga. Ini pendapatku, bagaimana menurut pendapatmu?


Rabu, 23 Desember 2020

Bab yg Paling Mengena dari Buku The Danish Way of Parenting


Di blog ini aku ingin berbagi secara realistis. Aku akan menceritakan segala hal tanpa melebih-lebihkan atau bahkan mengurangi fakta atau kenyataan yang terjadi. Untukku, menjadi ibu sungguh adalah suatu hal yang sangat sulit terutama dalam hal meregulasi emosi. Ada hari dimana aku bisa sangat sabar dalam mengasuh anak, ada hari dimana aku benar-benar harus berjuang menjaga kewarasanku. Jujur kukatakan kepada kalian, perbandingannya mungkin bisa sampai 15:15. Bayangkan di dalam satu bulan, setengahnya kuhabiskan bergumul melawan sisi negatif diriku sendiri. Tentu saja banyak sekali faktor yang menyebabkan hal ini, contohnya seperti lelah dan stress. Aku seorang ibu dengan satu anak, tanpa asisten rumah tangga maupun babysitter, dan 3 hari dalam satu minggu aku harus mengurus usahaku di kantor dengan membawa anak. Tak tega kami menitipkan si anak, terutama di masa pandemi ini. Tidak, aku tidak mengeluh. Aku tidak pantas untuk mengeluh ketika banyak sekali para ibu diluar sana yang keadaannya jauh lebih tidak memungkinkan. Bersabarlah karena hal ini akan ada kaitannya dengan inti dari pertemuan/bab pertama kami.

Masak, kami tak ada waktu. Langganan catering adalah solusinya. Sama halnya untuk makanan Mave. Baju kotor, kami serahkan ke jasa cuci kiloan. Terima jadi, rapi dan wangi, tugasku hanya meletakan kembali baju yang sudah bersih ke dalam lemari. Sudah begitu, tapi entah bagaimana hariku selalu terasa penuh dan sesak. Bangun pagi, mandikan anak, siapkan sarapan anak, temani anak makan, urus diriku sendiri, hangatkan makan siang anak untuk dibawa ke kantor. Kalau di rumah, hangatkan makan siang anak sebelum dia tidur siang, supaya begitu bangun dia bisa langsung makan siang. Sering juga suamiku yang menyiapkan sarapan ketika aku memandikan si anak, supaya setelah mandi dia bisa langsung sarapan. Setelah itu, hari di kantor terasa berjalan dengan sangat cepat. Jika sedang di rumah, ada saja pekerjaan rumah yang harus aku lakukan seperti cuci baju, setrika baju, cuci piring, dan lain sebagainya. Kulihat jam tiba-tiba sudah jam 5 sore, waktu dimana aku sangat berusaha untuk mengajak Mave menikmati segarnya angin di sore hari. Rutinitas pun berlanjut: mandi sore, makan malam, main sebentar, kemudian anak pun tidur. Tak selesai disitu, setelah anak tidur aku berberes rumah dan mengerjakan pekerjaan kantor yang tak ada habisnya. Ada kalanya kopi pun tak mempan. Ketika waktu itu datang, aku hanya bisa tertidur sambil membawa beban pekerjaan yang belum aku kerjakan.

Ini hubungannya: Badan dan mentalku seperti ditarik sampai ambang batas. Tidak ada jeda, harus terus bergerak. Pada situasi inilah aku, sebagai seorang ibu, benar-benar sedang diuji. Apa reaksiku ketika hal-hal kecil yang dibuat anak memicu kemarahanku? Kata-kata apa yang akan keluar dari mulutku? Nada suara seperti apa yang aku berikan kepada anakku? Seringkali jawaban dari pertanyaan diatas, kulakukan secara tidak sadar. Seperti sudah otomatis, aku bereaksi kepada anakku seperti orang tuaku bereaksi kepadaku. Cara asuh orang tuaku seperti sudah mendarah daging dalam diriku dan terprogram di otakku. Ketika aku baca bagian ini di bab pertama, aku kecewa terhadap diri sendiri. Bagaimana bisa aku melakukan hal yang orang tuaku lakukan terhadapku, hal yang aku tidak suka sama sekali, terhadap anakku, secara tidak sadar?

Aku putuskan, aku harus memutus lingkaran setan ini dengan cara mengubah default setting (pembawaan alami) yang ada dalam diriku. Aku sungguh tidak mau anakku menjadi diriku yang seperti ini akibat asuhan yang kurang tepat. Seringkali ketika dia sudah tertidur, aku sungguh merasa bersalah telah memarahinya untuk hal yang mungkin sebenarnya tidak terlalu penting. Tidak mudah, tentu saja tidak mudah mengubah default setting yang sudah tertanam dalam sampai alam bawah sadar. Tidak mudah ketika yang biasanya otomatis bernada tinggi ketika jengkel, kemudian harus bernada halus ketika emosi memuncak. Aku benar-benar harus melihat kembali pembawaan alami di dalam diriku. Pelajari dan pahami betul-betul. Pikirkan dulu baik-baik sebelum mengeluarkan kata apapun. Inilah yang bab pertama ajarkan kepadaku. Aku ingin menerapkan cara asuh yang dulu aku harapkan dari orang tuaku. Aku tidak ingin memperlakukan anakku seperti dulu aku diperlakukan. Sesederhana itu.

Untuk para orang tua, ketika malam hari tiba dan anakmu sedang tidur, sempatkanlah dirimu untuk berhenti dan duduk sejenak. Bagaimana sikap dan cara bicara kita terhadap anak hari ini? Apa yang kurang baik dan ingin kita ubah?

Rabu, 16 Desember 2020

Jalan Jalan ke Taman Safari Bogor

Bulan lalu aku, suami, dan anakku memutuskan untuk mengunjungi Taman Safari Bogor di tengah pandemi ini. Tentu saja kami takut dan was-was, tapi si anak sungguh sudah terlalu bosan di rumah dan dia sedang di puncaknya ingin tahu segala hal. Kami pikir, karena di dalam mobil saja, seharusnya tidak masalah pergi kesana. Tiga hari sebelumnya kami membeli tiket secara online di website Taman Safari Bogor. Aku cari di aplikasi seperti Traveloka, tetapi tidak tersedia. Kebetulan suamiku memang memiliki kartu kredit, sehingga pembayaran lebih mudah. Tapi tenang saja, jika tidak memiliki kartu kredit pembayaran bisa dilakukan melalui transfer. Nah sepertinya jika beli tiket online di website, harganya sedikit lebih murah. Ini harga di hari biasa ya, bukan Sabtu, Minggu, atau hari libur. Pada website tertera harga sebagai berikut: Lebih dari 6 tahun Rp195,000, kurang dari 5 tahun Rp170,000 (umur 5.5 tahun anggap saja 5 tahun). Jika dihitung, total 2 dewasa dan 1 anak seharusnya Rp560,000 bukan? Tetapi kami membayar secara online sejumlah Rp530,000 dengan rincian 2 dewasa masing-masing Rp185,000 dan 1 anak Rp160,000. Berarti kalau beli online, harga tiket lebih murah Rp10,000. Oh iya tambah biaya parkir mobil Rp20,000. Jadi total yang kami bayarkan adalah sebesar Rp550,000.

Dengan memakai masker dan mematuhi protokol yang ada, kami pun berangkat ke Taman Safari Bogor. Perjalanan mobil cukup lancar, berangkat pukul 8 pagi sampai disana pukul 10 pagi. Anakku tertidur tepat setelah kami sampai disana. Sambil menunggu dia bangun, saya dan suami membuka dan memakan bekal yang dibawa dari rumah untuk menghindari makan di tempat umum. Setelah selesai makan, kami memulai perjalanan safari di dalam mobil ketika akhirnya anakku terbangun. Masih terkantuk-kantuk anakku terdiam melihat banyak gajah. Sepertinya masih mengumpulkan nyawa. Saat melihat rusa dan onta, dia pun mulai mengoceh dan terlihat senang. Ini pengalaman pertama kalinya untuk anakku melihat hewan yang tadinya hanya bisa dia lihat di buku ataupun film. Kami tidak memberi makan mereka, karena sudah ada peraturan cukup jelas dimana para pengunjung dilarang memberi makan para hewan. Tetapi sepanjang perjalanan mendekati Taman Safari, banyak sekali penjual wortel dan hampir semua mobil yang kami lihat memberi makan hewan hewan ini. Anehnya pengawas Taman Safari juga melihatnya tetapi tidak menegur atau memberi komentar apapun. Cukup menegangkan ketika kami sampai di bagian hewan buas seperti harimau dan singa. Untungnya mereka semua sedang beristirahat dengan santai dan tidak mendekati mobil-mobil yang lewat. Kami dilarang membuka jendela. 

Setelah melakukan Safari Journey, kami parkir mobil di area A. Sungguh aneh ketika melihat area ini karena selama bertahun-tahun aku punya ingatan akan tempat ini tetapi tidak ingat dimana lokasinya. Ternyata disini, di parkir area A Taman Safari Bogor dan ingatanku merujuk ke liburan keluarga 10 tahun yang lalu. Sungguh indahnya memori itu, ketika Papi masih ada, masih sehat, masih bisa jalan. Tak pernah aku sangka 10 tahun kemudian aku akan mengunjungi tempat ini lagi bersama suami dan anakku. Tempat pertama yang kami kunjungi dia area ini adalah Baby Zoo. Seperti namanya, kebun binatang mini ini cukup menarik. Begitu masuk kami disambut langsung oleh kanguru. Aku sangat kaget ketika tiba-tiba ada kanguru disampingku, tetapi anakku justru santai saja ingin memegangnya. Itulah kadang yang aku kagum dari anak, mereka belum mengerti dunia ini, belum takut akan apapun. Sebelum sempat memegang, kanguru itu pun kabur. Naik kereta mini ke dunia dinosaurus, naik onta, semua dialami langsung oleh anakku. Aku tahu dia tidak akan ingat, yang paling penting aku bisa membuatnya senang untuk saat ini. 

Sebenarnya cukup banyak wahana binatang yang bisa dikunjungi, tetapi menurutku satu hari tidak cukup untuk mengunjungi semuanya. Apalagi dengan balita yang butuh tidur cukup lama di sela-sela waktu wisata. Harga yang kami bayarkan meliputi wahana Safari Journey, Istana Panda, 13 Wahana Permainan, 8 Presentasi Edukasi, Baby Zoo, Kubah Burung, Komodo Dragon Island, Pusat Primata, Air Terjun Curug Jaksa, Kampung Papua, Humboldt Penguin. Bayangkan saja, kami hanya sempat mengunjungi tiga dari semua yang sudah disebutkan. Presentasi Edukasi pun juga tak semuanya, karena jam pertunjukan ada yang bersamaan. Datang jam 10, pulang jam 5, dan sudah sangat lelah. Kami pikir anak kami yang hampir dua tahun ini tertarik dengan pertunjukan binatang, tetapi kenyataannya belum begitu. Mungkin nanti kalau dia sudah lebih besar, dia akan lebih antusias menonton pertunjukan. Kami juga tidak menyarankan untuk menonton pertunjukan, karena walaupun tempat duduk sudah diberi jarak antar rombongan tetap saja isi teater selalu penuh dengan orang. Menurutku waktu yang ada lebih baik dipakai untuk mengunjungi tempat lain. 

Begitulah cerita keluarga kami. Jika kami mendapat kesempatan untuk mengunjungi tempat ini lagi di masa depan, kami akan mengunjungi tempat yang belum sempat kami lihat dan tentu saja jika anak kami sudah beranjak besar supaya dia bisa sekaligus belajar akan berbagai hal. Komen di bawah jika ada yang ingin ditanyakan ya. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.


Minggu, 13 Desember 2020

Awal Mula Diskusi Buku The Danish Way of Parenting

The Danish Way of Parenting: 
What the Happiest People in the World Know 
About Raising Confident, Capable Kids
oleh Iben Dissing Sandahl

Saat ini, tema parenting menjadi topik dan prioritas utama dalam pikiranku. Tentu saja karena aku sudah punya anak yang berumur hampir 2 tahun. Sebelum punya anak, mana pernah aku meletakkan pusat perhatianku pada topik ini. Aku berpikir, di umur anakku yang baru mau mendekati 2 tahun saja aku sudah mulai kebingungan tentang bagaimana aku harus bertindak sebagai orang tua. Apalagi nanti ketika dia sudah remaja? Jujur saja pikiran itu membuatku takut, maka dari itu mulai saat ini aku harus mencari tahu mana jalan yang terbaik untuk mendidik dan membesarkan anakku. Dimulai dari mencari panduan berupa buku. Ingin menangis rasanya ketika aku melihat begitu banyaknya buku bertema parenting di dunia ini. Tapi bagaimanapun aku harus memulai perjalanan parenting ini. Akhirnya aku jatuhkan pilihan ke dua buku, yang nantinya akan aku ulas setelah buku ini.

Awalnya "The Danish Way of Parenting" sudah masuk dalam nominasi bacaan yang akan aku beli, tetapi aku tunda karena judul dua buku lain itu membuatku sangat penasaran. Setelah setengah jalan membaca buku yang aku beli, seperti mendapatkan pencerahan aku menemukan akun instagram seorang Early Childhood Educator bernama Krista Endinda. Kemungkinan besar algoritma instagram memang mendeteksi apa yang sedang aku cari. Beliau mengumumkan bahwa pada bulan Oktober akan dimulai sebuah grup yang membahas tema parenting melalui buku ini. Tanpa pikir panjang aku beli bukunya dan mendaftarkan diri. Tanggal 17 Oktober 2020 pertemuan pertama diadakan melalui sesi Zoom, setiap hari Sabtu kita bertemu, difasilitasi oleh Ms. Dinda, dan berakhir minggu lalu pada tanggal 5 Desember 2020. Aku dan 24 ibu lainnya bertemu 8 kali karena ada 8 bab yang harus dibahas.

Sungguh, tidak ada habisnya ketika membicarakan tema parenting. Aku sangat bersyukur, entah bagaimana niatku dipertemukan dengan orang yang memiliki visi serupa. Aku tahu, pasti ada saja yang mengatakan "ah orang tua jaman dahulu tidak pernah baca buku untuk mendidik anak, tidak ada panduan dari siapapun, apalagi ikut grup baca buku. buktinya sekarang aku baik-baik saja. anakku juga sekarang baik-baik saja. kenapa harus repot-repot?". Pertama, ijinkanlah aku mengatakan hal ini: tolong kurangi generalisasi dari segala hal. Jaman dahulu pasti ada orang tua yang ingin cari tahu jalan parenting seperti apa yang terbaik untuk anaknya, tidak mungkin tidak ada. Kedua, apa itu definisi dari baik-baik saja? Setiap orang tua berharap yang paling baik untuk sang anak, tetapi definisi baik pun juga bisa berbeda bagi setiap orang tua. Ketiga, kalau memang harus repot untuk anak tetapi bisa menghasilkan sesuatu yang baik, kenapa tidak? Mungkin itulah inti dari menjadi orang tua, harus selalu bisa melihat banyak hal dari sudut pandang yang berbeda serta memiliki cara pemikiran yang terbuka. Ada orang yang memang sudah berbakat secara alami menjadi orang tua tanpa perlu belajar, tapi diriku sudah jelas bukan orang itu. Sampai bertemu di tulisan selanjutnya ya.